ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com --
Pimpinan hingga anggota Komisi X DPR menangis merespons pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait rangkaian kasus kekerasan seksual massal selama kerusuhan Mei 1998.
Momen itu terjadi dalam rapat kerja Komisi X berbareng Fadli dan jajarannya, Rabu (2/6). Rapat tersebut turut membahas polemik penulisan ulang sejarah RI di bawah Fadli nan tengah berjalan saat ini.
Momen Pimpinan Komisi X DPR RI menangis itu terjadi ketika Wakil Ketua Komisi X DPR My Esti Wijayanti memotong penjelasan Fadli di dalam rapat.
"Izin Pak, Pak Ketua [pemimpin rapat]. Izin. Semakin Pak Fadli Zon ini bicara, saya kenapa semakin sakit ya. Soal pemerkosaan, mungkin sebaiknya enggak perlu di forum ini Pak. Karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta," kata Wakil Ketua Komisi X DPR MY Esti Wijayanti seraya terisak menahan tangis.
Esti menilai Fadli tak mempunyai kepekaan terhadap persoalan tersebut. Menurut dia, pernyataan Fadli hanya bakal semakin membikin luka terhadap para korban.
"Singkat saja, jadi intinya memang peristiwa itu terjadi. Persoalan kemudian ada beberapa catatan nan bapak berikan, mari ...," tutur Esti yang lampau dipotong Fadli.
"Terjadi bu... Saya mengakui," pangkas Fadli.
Fadli mengklaim tak pernah menyangkal peristiwa tersebut. Dia mengatakan secara pribadi kasus pemerkosaan pada Mei '98 terjadi. Esti sempat memotong lagi dengan mengatakan dia beranggapan demikian lantaran penjelasan Fadli sebelumnya.
"Bukan. Saya mengakui, dalam penjelasan saya, saya mengakui," potong Fadli lagi.
Pemimpin rapat yang juga Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani kemudian mencoba menengahi Fadli Zon dan Esti.
Bukan hanya Esti, berasas pantauan, Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Mercy Christie Barends juga menangis saat merespons pernyataan Fadli soal kekerasan seksual selama '98.
Mercy mengungkit People's Tribunal on Japan's Military Sexual Slavery alias Pengadilan Rakyat Internasional untuk perkara Jugun Ianfu pada tahun 2000 di Jepang.
Menurut dia, banyak wanita Indonesia nan menjadi korban selama Perang Dunia II oleh Jepang. Kala itu, kata Mercy, pemerintah Jepang menerima semua korban.
"Apa nan terjadi pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua. Ini pemerintah Jepang, duta besarnya itu sampai begini [membungkuk]," ujar Mercy.
"Terhadap kasus Jugun Ianfu. Kita bangsa sendiri kenapa begitu berat menerima ini," imbuhnya sembari terisak.
Pantauan CNNIndonesia, sejumlah peserta dapat nan datang pun turut terisak mendengar itu.
Fadli pada kesempatan itu mengakui kasus kekerasan seksual pada '98. Namun, dia mempermasalahkan diksi 'massal' dalam peristiwa kekerasan seksual tersebut.
Dia mengaku juga telah membaca laporan TGPF dan mengaku siap berdebat lebih komplit soal soal peristiwa tersebut. Namun, dia meminta agar narasinya tak boleh diadu domba, seolah-seolah pelakunya diasosiasikan ABRI (nama lembaga TNI di masa Orde Baru) lantaran berbulu cepak.
Dia nan juga politikus Gerindra itu pun menyinggung laporan buletin media massa.
"Ditulis di majalah Tempo ini kan mengadu domba, begitu juga mereka nan melakukan perkosaan massal itu berbulu pendek arahnya ke militer. Kita tidak mau ini menjadi narasi adu domba dan kita kemudian mengenyamnya ketelitian, pendokumentasian nan kokoh itu masalahnya," kata Fadli.
Dalam rapat itu, menurut Fadli, dirinya hanya mempermasalahkan penggunaan kata 'massal' nan menyertai peristiwa tersebut.
"Tapi jelas kita semua mengutuk hal-hal nan semacam itu, dan mengecam segala kekerasan terhadap perempuan. Saya kira dalam posisi nan sama sekali tidak berbeda dalam perihal itu," kata Fadli.
"Nah, hanya secara spesifik tadi, jika ada sedikit perbedaan pendapat mengenai dengan diksi itu, nan menurut saya itu pendapat pribadi, ya mungkin kita bisa dokumentasikan secara lebih teliti lagi ke depan. Ini adalah bagian dari perbedaan data, alias pendapat nan perlu kita lebih jeli lagi ke depan," imbuhnya.
Fadli mengaku tak mempunyai maksud lain, alias apalagi kepentingan di kembali peristiwa tersebut, apalagi untuk mereduksi alias menghilangkan kebenaran sejarah. Bahkan, dia mengaku mendorong para pelaku untuk dibawa ke proses hukum.
"Memang pelaku ini, sampai sekarang pun, saya kira harusnya bisa dihukum jika memang bisa ditelusuri kelompoknya, pelakunya," kata dia.
(thr/kid)
[Gambas:Video CNN]