ARTICLE AD BOX
pendapatsaya.com, Jakarta Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) merespons soal wacana pemerintah yang mau ada libur sekolah selama bulan Ramadan. Disebut perihal ini perlu kajian nan mendalam.
"Harus dikaji secara holistik, jika libur ini hanya mengakomodir siswa berakidah Islam, gimana siswa non muslim? Jika mereka libur, mereka tidak mendapat jasa pembelajaran. Jika mereka tetap sekolah, ini juga mendiskriminasi jasa belajar siswa muslim nan libur," kata Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, dalam keterangannya, Sabtu (4/1/2025).
Dia juga melihat, jika wacana ini terjadi, maka terjadi kekhawatirakn di pembimbing sekolah maupun madrasah swasta karena gaji mereka bakal berkurang signifikan jika siswa libur sebulan penuh, lantaran orang tua pun keberatan bayar iuran SPP lantaran anaknya libur sekolah.
"Guru-guru swasta di wilayah khawatir, jika liburnya full selama puasa, kelak yayasan bakal memotong gajinya signifikan. Padahal kebutuhan shopping saat bulan puasa ditambah idul fitri family meningkat," ungkap Satriwan.
Selain itu, dia juga memandang setiap ramadan jam belajar memang berkurang alias mendapatkan penyesuaian. Jadi sebenarnya bisa tetap masuk sekolah, namun agenda pembelajaran dimodifikasi, diatur ulang, lampau dikombinasikan dengan aktivitas sekolah bernuasa pendidikan nilai kerohanian.
"Misal saja, dengan mengurangi jam pelajaran di SMA/MA/SMK dari 45 menjadi 30-35 menit. Kemudian mengubah jam masuk sekolah lebih siang dan lebih sigap pulang. Atau juga belajar aktif hanya dua minggu pada pertengahan ramadan. Sisanya sekolah mengadakan program pesantren pamadan. Jadi opsinya ada banyak," jelas Satriwan.
Menurut dia, ramadan bisa jadi momentum siswa dan pembimbing meningkatkan literasi, baik literasi kepercayaan seperti membaca dan mempelajari kitab suci, sejarah Islam, kajian karakter tokoh, alias literasi umum.
Proses pembelajaran intrakurikuler tetap dibutuhkan meskipun bulan ramadan. Sebab sekolah dan pembimbing sudah merancang perencanaan pembelajaran di awal tahun aliran baru.
"Jika siswa libur selama puasa, bakal berakibat negatif terhadap capaian pembelajaran mereka. Kurikulum dan materi pembelajaran bakal banyak tertinggal," kata Satriwan menjelaskan.
Satriwan juga melihat, lemahnya pemantauan dan pengawasan siswa oleh pembimbing dan orang tua jika sekolah diliburkan. Jika siswa dan pembimbing sepenuhnya libur, kegunaan pengawasan dan kontrol belajar di rumah sepenuhnya di orang tua.
"Tapi faktanya orang tua nan bekerja alias punya aktivitas lain, tidak dapat mengawasi dan membimbing anak selama libur. Orang tuanya tidak libur, tetap mencari nafkah di luar rumah," jelas dia.