ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com - Nasib petani di Trenggalek, Jawa Timur, mendadak berubah 180 derajat dalam semalam. Petani berjulukan Suradji tersebut mendapat bingkisan terbesar dari kupon perjudian Sumbangan Sosial Dermawan Berhadiah (SDSB) pada 1991 silam.
Uang nan didapatkan bukan hanya ratusan juta, tetapi tembus Rp1 miliar. Suradji tak menyangka bakal memenangkan undian tersebut, karena peluangnya sangat kecil.
Sebagai informasi, SDSB merupakan kebijakan pemerintah sejak 1989 untuk menarik duit dari masyarakat lewat sistem kupon undian.
Sebagai timbal balik, masyarakat nan membeli bakal mendapat kesempatan sangat mini untuk memperoleh duit tunai jutaan hingga miliaran rupiah.
Artinya, Suradji jadi orang sangat beruntung. Sebab, nomor kupon SDSB nan dia beli cocok dengan nan dikocok pemerintah. Dia berkuasa mendapat duit Rp1 miliar.
Pada tahun 1991, duit Rp1 miliar sangat besar. Harga rumah di area elit Pondok Indah, Jakarta, saja mencapai Rp80 juta per unit. Artinya, dengan duit Rp1 miliar, Suradji bisa membeli 12 unit rumah di Pondok Indah.
Lalu, nilai emas pada 1991 hanya Rp20 ribu per gram. Dengan duit Rp1 miliar, Suradji bisa memborong 50 Kg emas. Berarti jika dikonversikan melalui penyetaraan nilai emas (1 gram: Rp1 juta), diketahui duit Rp1 miliar setara Rp50 miliar pada masa sekarang.
Bantu Warga
Sebagai petani nan sehari-hari bergulat dengan tanah, Suradji tak pernah membayangkan bakal mempunyai duit sebanyak itu dan menjadi miliarder. Meski begitu, dalam rasa kaget atas rezeki nomplok, Suradji justru memikirkan kepentingan penduduk di sekitar rumahnya di Dusun Telasih, Desa Parakan, Trenggalek, Jawa Timur.
Pasalnya, para penduduk sehari-hari terpaksa bertaruh nyawa imbas buruknya akses transportasi. Untuk melintasi sungai, penduduk kudu menyeberangi jembatan bambu nan ringkih. Sudah pasti nyawa jadi taruhannya.
Melihat kondisi itu, Suradji memutuskan membangun jembatan dari duit SDSB. Harian Suara Pembaruan (9 November 1991) menyebut, Suradji secara sukarela membangun jembatan seharga Rp117 juta untuk membantu penduduk menyeberangi sungai.
Nominal sebesar itu murni keluar dari kantong pribadi Suradji, tanpa support pemerintah dan swadaya masyarakat.
"Jembatan nan dibangun dengan biaya Rp117 juta itu bukanlah proyek Inpres alias swadaya masyarakat. Namun, dibiayai sepenuhnya oleh seorang penduduk desa berjulukan Suradji. [...] Buruh tani dan penjual bambu itu, menamakan jembatan sumbangannya sebagai jembatan SDSB," tulis pewarta Suara Pembaruan.
Praktis, keputusan Suradji dengan sigap menjadi viral, apalagi di era sebelum media sosial seperti sekarang. Berbagai surat berita meliput keputusannya dan menjadi buah bibir di Indonesia. Saat berita tersebut viral, jembatan beton sudah berdiri tegak di tengah derasnya arus sungai.
SDSB, Judi Legal dari Pemerintah
Kisah Suradji tidak bisa dipandang dari kacamata hari ini, saat gambling dianggap ilegal. Apa nan dialami Suradji menjadi kelaziman di era Orde Baru saat pemerintah melakukan legalisasi judi. Sudah banyak orang nan menang undian SDSB. Mulai dari tukang becak, petani, hingga prajurit TNI.
SDSB sebenarnya hanya satu dari beragam rupa kebijakan serupa nan pernah eksis di Indonesia.
Sepanjang dasawarsa 1980-an, alias 44 tahun lalu, pemerintah membikin banyak kebijakan undian sumbangan masyarakat. Sebut saja seperti Lotere Dana Harapan (1978), Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (1979), Kupon Berhadiah Porkas Sepakbola (1985), Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (1987), dan terakhir Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (1989).
Seluruh kebijakan tersebut punya sistem sama. Pemerintah melalui Kementerian Sosial mencetak kupon undian untuk dibeli masyarakat di rentang nilai berbeda. Lalu duit dari masyarakat dipakai modal pembangunan.
Jika kupon nan dibeli sesuai dengan pengumuman, maka si pembeli mendapat duit hadiah. Dari jutaan peserta, hanya 1-2 orang saja nan sukses menang. Jadi, seseorang nan memenangkan undian ini membikin jatah beruntung seumur hidupnya terpakai.
Praktik seperti ini tak ada bedanya dengan pertaruhan nan sekarang marak. Banyak orang, khususnya para pengkritik Orde Baru, menganggap kebijakan tersebut seperti legalisasi judi. Salah satunya adalah aktivis Sri Bintang Pamungkas dalam Ganti Rezim Ganti Sistim (2014) nan menyebut, SDSB seperti gambling nan dilegalisasi pemerintah Soeharto.
Para mahasiswa juga sepakat bahwa SDSB adalah judi. Di Yogyakarta, misalnya, harian Suara Karya (5 Desember 1991) mewartakan, ribuan mahasiswa mendemo Soeharto agar SDSB dihentikan. Argumennya sederhana: SDSB membikin pemerintah untung, tapi di akar rumput malah buntung.
Masyarakat nan mau kaya mendadak berlomba-lomba membeli kupon SDSB. Bahkan melakukan segala langkah untuk dapat duit agar bisa membeli kupon, seperti berutang, pergi ke dukun alias menjual kekayaan benda. Masalahnya, tindakan tersebut membikin mereka jatuh miskin, menderita hingga bunuh diri.
Sebab mereka sudah keluar duit banyak, tapi tidak pernah mendapat hadiah. Atas tuduhan tersebut, Pemerintah membantah disebut melakukan judi.
Dalam pewartaan Suara Pembaruan (12 November 1991), Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Sudomo, menyebut jika nan dilakukan pemerintah adalah mengadu untung dengan membeli kupon bernomor alias dengan menentukan nomor sendiri dapat bingkisan uang. Dalihnya, SDSB pakai kertas, tak pakai kartu seperti judi.
Sekalipun demikian, sanggahan tak membikin masyarakat tutup mata dan telinga jika itu adalah perbuatan judi. Masyarakat juga memplesetkan SDSB sebagai Soeharto Dalang Segala Bencana. Sampai akhirnya, kebijakan SDSB betul-betul dihentikan pada 1993.
Kini, pertaruhan sebagai jalan pintas mendapat duit banyak secara sigap sedang masif diberantas. Meskipun, langkah itu tak bisa menghapus sejarah bahwa gambling dulu pernah dilegalkan di Indonesia.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]