Jaksa Kembalikan Spdp Firli Bahuri, Pakar Hukum Sarankan Ini

Sedang Trending 6 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

pendapatsaya.com, Jakarta - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad menilai pengembalian Surat Perintah Dimulai Penyidikan (SPDP) perkara dugaan pemerasan mantan Ketua KPK Firli Bahuri terhadap Syahrul Yasin Limpo (SYL) oleh jaksa peneliti pada Kejati DKI Jakarta menunjukkan kegagalan interogator Polda Metro Jaya (PMJ) memenuhi petunjuk Jaksa dalam melengkapi perangkat bukti pada berkas perkara Firli Bahuri.

Oleh karena itu, Prof. Supardji menyarankan interogator PMJ mengeluarkan SP3 atas kasus Firli Bahuri, lantaran tidak memenuhi perangkat bukti materiil.

“Kalau memang tidak ditemukan perangkat bukti alias tidak cukup perangkat bukti, konsekuensinya perkara ini dihentikan,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (4/1/2025).

Prof. Supardji menjelaskan, ada tiga perihal nan menjadi argumen SP3 diterbitkan, ialah tidak cukup perangkat bukti, bukan peristiwa pidana, investigasi dihentikan demi norma lantaran kadaluarsa alias tersangkanya meninggal dunia.

“Dalam kasus Firli Bahuri, jika tidak cukup perangkat bukti, ya konsekuensinya perkara ini kudu dihentikan,” tegasnya.

Menurut dia, Kejati DKI Jakarta mengembalikan SPDP kepada interogator PMJ, lantaran tidak ada kelanjutan dari petunjuk-petunjuk sebelumnya.Sehingga, Jaksa tidak mau terbebani perkara ini.

Selain itu, Prof. Supardji juga menilai pengembalian SPDP oleh Kejaksaan kepada interogator menunjukkan adanya pelambanan dalam memenuhi petunjuk dari Jaksa.

“Kalau tidak ada perangkat bukti, Jaksa bakal kesulitan. Sebab, Jaksa kelak nan bertanggung jawab dalam persidangan. Kalau Jaksa tidak bisa membuktikan dalam persidangan, ini menjadi pertarungan reputasi mereka. Bahkan, ini bertentangan dengan rasa keadilan,” papar Prof. Supardji.

Terkait perangkat bukti, Prof. Supardji mengatakan proses norma dalam investigasi maupun persidangan merupakan sebuah bangunan kebenaran berasas perangkat bukti nan didukung peralatan bukti.

Dia menegaskan bahwa dalam proses hukum, kebenaran tidak bisa direkayasa, tetapi hanya direkonstruksi. Karena itu, kebenaran tidak bisa berkarakter imajinatif alias asumtif, tetapi kudu sesuai dengan realita nan sebenarnya.

“Untuk menemukan satu kebenaran materil kudu berasas perangkat bukti nan berbobot alias perangkat bukti nan mempunyai kesesuaian dengan peristiwa pidananya,” ungkapnya.

Terkait Pidana Suap alias Gratifikasi

Terkait tindak pidana suap alias gratifikasi nan disangkakan kepada Firli Bahuri, kata Prof. Supardji, kudu ada pembuktian nan memenuhi unsur materiil sebagaimana disarankan oleh Jaksa.

“Harus betul-betul ada perangkat bukti nan menunjukkan peristiwa pidana korupsi itu. Misalnya, saksi nan melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami secara langsung atas terjadinya dugaan penyuapan, gratifikasi alias pemerasan. Itu kudu ada bukti, kapan dan dimana dilakukan. Nah, ini nan bicara adalah saksi, nan bicara adalah perangkat bukti berupa surat alias petunjuk,” katanya.

Lantaran interogator PMJ tidak menemukan perangkat bukti nan kuat, kata Prof. Supardji, Jaksa tidak punya kepercayaan tentang kebenaran materiil. Itu sebabnya, Jaksa mengembalikan berkas perkara Firli Bahuri kepada interogator PMJ.

Sejatinya, menurut Prof. Supardji, kasus nan disangkakan kepada Firli Bahuri sederhana jika memang interogator menemukan perangkat bukti seperti petunjuk dari Jaksa.

Yang jadi pertanyaan, kata dia, kenapa interogator tidak bisa melengkapi berkas perkara itu. Apakah memang tidak ada perangkat bukti alias perangkat buktinya belum ditemukan?

“Kalau memang ada perangkat buktinya, perkara ini sebetulnya simpel. Misalnya, jelas waktunya, jelas tempatnya, jelas orang-orang nan bisa diperiksa. Ternyata belum dapat kan. Bisa jadi lantaran memang tidak ada perangkat buktinya,” kata Prof. Supardji.

“Alat bukti itu tidak dicari, tapi ditemukan. Artinya, perangkat bukti tidak bisa dikondisikan, tapi kudu betul-betul nyata adanya,” pungkasnya.

Infografis

Selengkapnya