Menelaah Isu Penyitaan Dan Perampasan Harta Kekayaan Milik Pihak Ketiga Dalam Tppu

Sedang Trending 15 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

pendapatsaya.com, Jakarta - Salah satu kampus di Indonesia ialah Universitas Borobudur kembali menggelar sidang terbuka promosi ahli di bagian Ilmu Hukum. Salah satu nan melakukan sidang terbuka promosi ahli Ilmu Hukum adalah Penyidik Bareskrim Polri Alhadi Haq.

Hadi, sapaan akrabnya, merupakan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum dari angkatan 25, nan sukses meraih gelar Doktor dan sukses lulus dengan predikat cumlaude setelah mempertahankan disertasi berjudul 'Penyitaan dan Perampasan Harta kekayaan Milik Pihak Ketiga Dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang nan Berkepastian Hukum dan Berkeadilan'.

Dia pun mengungkapkan argumen membikin penelitian tersebut lantaran berfokus pada perlindungan norma bagi pihak ketiga beritikad baik dalam kasus penyitaan dan perampasan aset nan mengenai dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Dia menjelaskan, meskipun Pasal 67 dan Pasal 79 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 telah memberikan kerangka kerja perlindungan, tetap terdapat pembatasan hanya keberatan terhadap objek penyitaan dan perampasan asset berupa duit dalam akun rekening nan telah dilakukan penundaan transaksi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Hal itu berasas pasal 67 UU Nomor 8 tahun 2010 tengang Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana pencucian duit nan penanganannya dilimpahkan kepada interogator dan jika setelah 30 hari interogator tidak menemukan tersangkanya, maka interogator dapat memohonkan perampasan terhadap aset berupa duit dalam rekening nan diduga tidak bertuan tersebut dirampas menggunakan sistem Perma 1 tahun 2013," ujar Hadi, melalui keterangan tertulis, Selada (8/7/2025).

"Akan tetapi terdapat kekosongan norma mengenai pengajuan keberatan pihak ketiga beritikad baik dalam perkara TPPU mengenai penyitaan dan perampasan asset selain objek duit nan telah dibekukan oleh PPATK dan dalam perihal ketika tersangka alias terdakwa meninggal bumi sebelum putusan dijatuhkan berasas pasal 79 ayat 4 maka pihak ketiga kehilangan kewenangan untuk mengusulkan upaya hukum," sambung doa.

Selain itu, kata hadi, pemisah waktu pengajuan keberatan 20 hari sering kali tidak mencukupi disebabkan ketiadaan prosedur nan jelas nan kudu ditempuh oleh pihak ketiga beritikad baik, ketidakjelasan pedoman bagi interogator dalam memisahkan aset nan sah dari aset hasil kejahatan juga menjadi tantangan serius.

Mulai dari Kepsek Ponorogo korupsi biaya BOS hingga TPPU tindak tegas komplotan pinjol di News Flash pendapatsaya.com.

3 Isu Utama

Hadi menjelaskan, penelitian ini mengeksplorasi tiga rumor utama mengenai penyitaan dan perampasan aset milik pihak ketiga dalam tindak pidana pencucian uang.

Pertama, kata dia, kenapa penyitaan dan perampasan kekayaan kekayaaan miliki pihak ketiga kudu sesuai ketentuan norma nan berlaku. Kedua, lanjut Hadi, gimana upaya perlindungan norma dan keadilan nan diberikan kepada pihak ketiga nan beritikad baik saat menghadapi penyitaan dan perampasan aset mengenai tindak pidana pencucian uang.

"Ketiga, gimana reformulasi norma norma nan ideal dalam menyusun pedoman nan jelas dan efektif untuk melindungi pihak ketiga beritikad baik, guna memastikan adanya kepastian norma dan keadilan dalam penegakan norma pencucian uang," terang dia.

"Hasil penelitian ini menemukan bahwa ketidakpastian norma dalam proses penyitaan dan perampasan kekayaan kekayaan milik pihak ketiga dalam tindak pidana pencucian duit sangat mencolok, terutama mengenai kondisi ketika dalam perkara tindak pidana TPPU dengan pidana asal penipuan investasi," sambung Hadi.

Menurut dia, korban nan telah menginvestasikan duit kepada pelaku dan mengalami penipuan justru kudu mengalami kehilangan hartanya akibat sistem peradilan pidana berasas putusan pengadilan nan merampas untuk negara aset, berupa duit milik pelaku nan berasal dari korban.

"Padahal peralatan bukti nan dirampas bukan objek kerugian negara contoh kasus perampasan aset dalam perkara First travel, travel umrah Abu Tour dan banyak lagi kasus lainnya nan merugikan posisi pihak ketiga beritikad baik, seperti penyitaan kekayaan kekayaan milik pihak ketiga beritikad baik nan tidak terlibat alias tidak turut serta melakukan kejahatan TPPU dan tidak ada niat untuk menyembunyikan alias menyamarkan hasil kejahatan namun hartanya kudu dilakuka penyitaan apalagi kudu dirampas dikarenakan kekayaan nan sah milik pihak ketiga tercampur (mingling) dengan hasil kejahatan," beber Hadi usai menggelar sidang terbuka Promosi Doktor Hukum di Gedung D, kampus Universitas Borobudur, Jakarta.

Mekanisme Perlindungan

Lebih lanjut, dirinya menjelaskan, sistem perlindungan nan ada, seperti penggantian kerugian dan pengajuan keberatan, belum diatur secara jelas, sehingga pihak ketiga sering kali kehilangan kewenangan mereka.

Hadi menyebut, untuk mengatasi celah norma ini, diperlukan payung norma nan lebih jelas melalui revisi Undang-Undang alias pembentukan peraturan baru guna memberikan perlindungan nan setara dan kepastian norma bagi pihak ketiga nan beritikad baik.

Dirinya menekankan, Tindak pidana pencucian duit (TPPU) merupakan corak kejahatan nan kompleks dan terorganisir, nan tidak hanya melibatkan pelaku utama tetapi juga berakibat luas pada pihak-pihak lain diluar pelaku, termasuk pihak ketiga nan beritikad baik.

Dia menilai, salah satu aspek krusial dalam penegakan norma terhadap TPPU adalah penyitaan dan perampasan aset nan diduga berasal dari tindak pidana.

"Dalam praktiknya, penyitaan dan perampasan ini sering kali tidak hanya menyasar aset pelaku, tetapi juga dapat mencakup aset milik pihak ketiga nan tidak terlibat dalam kejahatan tersebut. Situasi ini menimbulkan dilema hukum, di mana negara berupaya memulihkan kerugian dari kejahatan, tetapi di sisi lain menimbulkan potensi pelanggaran hak-hak pihak ketiga nan sah atas kepemilikan asetnya," papar Hadi.

"Pentingnya pengaturan nan setara dan proporsional dalam proses penyitaan dan perampasan kekayaan kekayaan menjadi semakin mendesak ketika mempertimbangkan bahwa pihak ketiga beritikad baik sering kali tidak mempunyai cukup ruang norma untuk memihak haknya. Dalam kerangka norma nan ada saat ini, perlindungan terhadap mereka belum sepenuhnya memadai," sambung dia.

Kondisi ini, lanjut Hadi, menunjukkan adanya ketidakharmonisan dan kekosongan norma nan perlu ditangani secara serius. Meskipun Undang-Undang TPPU telah mengatur sistem penyitaan dan perampasan serta memberikan kemungkinan keberatan oleh pihak ketiga,namun tidak adanya pengaturan nan terperinci dan menyeluruh menciptakan ketidakpastian hukum.

Dampak dari Kekosongan Hukum

Hadi menjelaskan, ketentuan norma nan ada belum sepenuhnya diselaraskan dengan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) maupun RUU Perampasan Aset.

Akibatnya, kata dia, perlindungan terhadap kewenangan kepemilikan nan sah tidak dapat diimplementasikan secara konsisten, dan aparatur penegak norma khususnya interogator pun tidak mempunyai pedoman nan memadai untuk bisa memisahkan aset nan sah dengan hasil tindak pidana.

"Situasi ini juga menciptakan ruang bagi kesalahan prosedur dan alias apalagi penyalahgunaan wewenang, nan pada akhirnya merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana," ucap Hadi.

Dalam praktiknya, lanjut dia, abdi negara penagak norma berada dalam dilema, di satu sisi mereka kudu memastikan bahwa aset nan berasal dari kejahatan dapat disita, tetapi di sisi lain mereka juga kudu melindungi kewenangan pemilik sah nan tidak terkait.

"Dampak dari kekosongan norma ini dirasakan tidak hanya oleh pihak ketiga nan haknya dirugikan, tetapi juga oleh penegak norma ketidakpastian dalam penanganan aset pun menjadi akibat logis, nan mengganggu kelancaran peradilan dan memperpanjang proses pemulihan aset negara alias korban," papar Hadi.

Oleh lantaran itu, lanjut dia, diperlukan pembaruan norma aktivitas pidana nan secara definitif mengatur perlindungan dan pemisahan aset milik pihak ketiga nan beritikad baik melalui klusterisasi aset alias pengelompokkan asset sesuai dasar norma kepemilikan seperti pemegang kewenangan agunan kebendaan, kewenangan agunan fidusia, kewenangan tanggungan, kewenangan pembeli beritikad baik sesuai Sema Nomor 4 tahun 2016 dan kewenangan lainnya nan semestinya mendapatka perlindungan.

"Selain aspek teknis norma acara, pendekatan pengganti seperti penyerahan secara sukarela peralatan bukti asset nan tercampur, proses mediasi dan restorative justice untuk perkara TPPU nan kerugian mini ,bukan kerugian negara dan tidak berakibat sosial dapat menjadi solusi nan lebih setara dan berorientasi pada pemulihan," ucap Hadi.

Dia menilai, restorative justice memungkinkan adanya perbincangan dan penyelesaian sengketa secara damai, nan melibatkan pelaku, korban, serta pihak ketiga nan terdampak.

Dalam konteks TPPU, lanjut Hadi, pendekatan ini dapat mengakomodasi hak-hak pihak ketiga, sekaligus mempercepat proses pengembalian aset dan penyelesaian perkara.

"Penerapan mediasi non-penal dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan bakal lebih efisien dan mengurangi beban proses peradilan pidana umum nan panjang dan kompleks. Namun, untuk dapat diterapkan secara efektif, pendekatan restorative justice kudu didukung dengan izin nan jelas dan terintegrasi dalam sistem peradilan pidana nan ada," terang dia.

"Penyusunan kerangka norma nan mengakomodasi mediasi dan sistem keberatan pihak ketiga sejak tahap penyelidikan hingga persidangan menjadi langkah krusial dalam mewujudkan keadilan nan substansial," lanjut Hadi.

Perlindungan norma bagi pihak ketiga nan beritikad baik bukan hanya soal kewenangan milik, melainkan juga menyangkut prinsip keadilan, kepastian hukum, dan efektivitas penegakan norma dalam memberantas kejahatan pencucian uang.

"Dengan meningkatnya kompleksitas kasus TPPU di Indonesia, rekonstruksi norma menjadi sangat mendesak. Dibutuhkan izin nan bisa memberikan kepastian norma bagi semua pihak, baik abdi negara penegak norma maupun penduduk negara nan terdampak," kata dia.

"Payung norma nan kuat dan terperinci tidak hanya bakal memudahkan abdi negara penegak norma dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga bakal melindungi pihak ketiga agar tidak menjadi korban dari praktik penyitaan dan perampasan asset nan tidak proporsional. Tujuan akhir dari pembaruan norma ini adalah menciptakan sistem norma nan lebih adil, responsif terhadap kebutuhan masyarakat, serta bisa menjaga integritas dan efektivitas pemberantasan kejahatan finansial di Indonesia," tutup Hadi.

Selengkapnya