ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com --
DPRD Jawa Barat hingga master dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengkritik rencana Pemprov Jabar melalui Dinas Pendidikan menambah jumlah rombongan belajar (rombel) di sekolah negeri dari semula 36 siswa menjadi 50 siswa per kelas.
Kebijakan nan termaktub dalam Kepgub Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 itu rencananya diberlakukan mulai tahun aliran 2025/2026.
Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, Zaini Shofari menyatakan penambahan rombel ini berkesempatan memperparah disparitas hingga berisiko terjadi ketimpangan dan pengosongan di sekolah swasta.
"Kalau sekarang jadi 50, disparitas bakal terjadi. Terus di luar itu, apakah ketika maksimal jadi 50 itu sudah direncanakan dengan matang? Misalnya, implikasi adanya penambahan rombel maka jumlah siswa bertambah di satu sekolah, tapi bakal berkurang di tempat lain seperti di swasta," ujarnya, Senin (7/7) lampau seperti dikutip dari detikJabar.
Ia mengingatkan jika penambahan rombel hingga 50 betul-betul dilakukan, maka itu bakal menjadi sejarah baru dalam bumi pendidikan Indonesia sejak era Orde Baru.
"Kalau sekarang sampai 50, tentunya ini menurut saya bakal kewalahan para pendidik. Dulu sempat jadi 44-45, jika sekarang naik jadi 50, ini jadi nan terbesar sepanjang sejarah," ungkapnya.
Menurut Zaini, dampak dari penambahan rombel ini bukan hanya pada murid, tetapi juga keberlangsungan para pembimbing dan tenaga kependidikan di sekolah swasta.
"Di swasta, tidak hanya siswa nan berkurang. Guru jika enggak ada muridnya mau ngapain? Penjaga sekolah, tenaga manajemen sekolah, itu kan berangsur dampaknya," tegas dia nan juga yang juga Ketua Fraksi PPP di DPRD Jabar.
Zaini pun meminta pemerintah wilayah agar tidak hanya konsentrasi pada sisi jumlah semata, tetapi juga memperhatikan kualitas pendidikan dan keseimbangan antar lembaga pendidikan negeri dan swasta. Dia pun mengatakan Komisi V berkomunikasi dengan Dinas Pendidikan serta forum sekolah swasta untuk membahas penambahan rombel tersebut.
Sementara itu, Dosen Prodi Administrasi Pendidikan FIP UPI Cepi Triatna mengatakan dalam perihal penambahan rombel dari semula 36 siswa menjadi 50 siswa bakal berakibat alias menimbulkan akibat bagi pembimbing sebagai tenaga pendidik siswa di sekolah.
"Risiko utama nan bakal dirasakan ialah pembelajaran bakal terkendala alias tersendat lantaran pembimbing kudu memberikan jasa kepada setiap peserta didik sesuai dengan karakteristiknya (dikenal dengan pembelajaran berdiferensiasi). Karena jumlah siswa nan lebih banyak maka pembimbing kudu menghabiskan waktu nan lebih banyak untuk memahami dan memberikan jasa nan lebih perseorangan kepada setiap murid," tuturnya.
Lalu menurut Cepi, siswa bakal merasa kurang nyaman untuk menempati ruang kelas dengan ukuran nan tidak sesuai (lebih kecil).
Pasalnya, dengan jumlah siswa bertambah maka ruang mobilitas dalam kelas menjadi lebih sempit dan menimbulkan ketidaknyamanan dalam proses pembelajaran.
"Adapun dari sisi pedagogis, jasa pembimbing bakal condong disamakan kepada para siswa dan kurang memperhatikan karakter individu. Dari perspektif pandang psikologis, perihal ini sangat berpotensi memunculkan bentrok di antara murid, ialah ketika ruang mobilitas anak tidak leluasa dan pembimbing tidak mengaturnya secara sesuai," tuturnya.
"Artinya ada akibat nan perlu dimitigasi oleh kreator kebijakan jika jumlah siswa per kelas bakal diperbanyak, ialah gimana jasa pembimbing kepada siswa sesuai dengan karakteristiknya, gimana memperkuat pembimbing dalam mengelola kelas, dan gimana mencegah bentrok antar siswa selama pembelajaran, sehingga siswa dan pembimbing tidak merasa stres dalam melaksanakan proses pembelajaran tersebut," tambahnya.
Menurut Cepi dalam aktivitas belajar mengajar (KBM) dibutuhkan strategi nan dilakukan pembimbing agar tetap efektif.
Selain itu, strategi sekolah nan dinilai efektif untuk memastikan pembelajaran tetap efektif dalam situasi kelas besar adalah memberikan penguatan motivasi dan keahlian pembimbing dalam menghadapi kelas besar.
"Motivasi pembimbing perlu diperkuat lantaran bertambahnya jumlah siswa di kelas bakal berimplikasi pada beragam jasa dalam mengelola kelas dan berisiko membikin stres guru, jika pembimbing tidak siap dengan keahlian nan kudu dimiliki. Mitigasi bakal perihal ini dapat diperkuat dengan memberikan kesejahteraan nan lebih sesuai kepada pembimbing dan memperhatikan variabel jumlah siswa nan dilayani," tuturnya.
"Dari sisi keahlian pembelajaran, pembimbing kudu dibekali gimana melakukan jasa pembelajaran kelas besar melalui kombinasi antara pembelajaran aktif, pembelajaran kooperatif/kolaboratif, dan penggunaan teknologi," tambah Cepi.
Sebelumnya, Kadisdik Jabar Purwanto menjelaskan soal kebijakan menambah jumlah siswa dalam satu kelas di sekolah negeri dari 36 menjadi 50 pelajar seperti nan tertuang dalam Kepgub Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025.
Dia mengatakan tujuan dari kebijakan itu bukan untuk mematikan sekolah swasta, melainkan demi menjamin semua anak mendapat kewenangan pendidikan.
Sementara itu merespons kekhawatiran pihak swasta, Purwanto bilang sekolah-sekolah nonnegeri tetap tetap mempunyai kesempatan besar untuk menerima siswa. Bahkan menurutnya ada sekitar 400 ribu siswa nan bisa ditampung untuk berguru di swasta.
"Dari lulusan kita sekitar 700 ribuan, itu tetap ada sekitar 400 ribuan anak nan tidak tertampung di negeri, apalagi setelah penambahan rombel. Nah, itu artinya apa? Masih bisa masuk ke sekolah swasta alias sekolah di bawah naungan Kementerian Agama," ucapnya.
Ia menegaskan, pemerintah tidak pernah menutup pilihan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke swasta.
"Sekolah swasta ya itu pilihan masyarakat aja. Anak miskin masuk swasta silakan, tapi dengan perjanjian. Nanti jangan sampai dia tiba-tiba masalah ekonomi, enggak sekolah," kata Purwanto.
Penambahan jumlah siswa dalam satu kelas, menurut Purwanto, disesuaikan dengan kondisi di tiap sekolah. Karena itu dia memastikan, kebijakan ini tidak berkarakter absolut di mana setiap rombel kudu berjumlah 50 siswa.
Baca buletin lengkapnya di sini.
(kid/wis)
[Gambas:Video CNN]