ARTICLE AD BOX
Jakarta, pendapatsaya.com - Bencana alam tentu bisa datang kapan saja. Tak ada nan menduga bahwa tidur para masyarakat Magelang malam itu bakal menjadi nan terakhir di rumah nan sama.
Ketika langit tetap gelap dan udara tetap dingin, pukul empat pagi tepatnya, tanah mendadak bergeser. Banyak penduduk nan sadar bakal perihal itu namun memilih untuk tidak menghiraukannya.
Tapi, realita menampar mereka lebih keras. Tak lama kemudian, guncangan kembali datang. Kali ini tanah bergetar lebih keras dan hebat. Para penduduk seketika langsung bangun untuk kedua kalinya. Hanya saja, sekarang tak ada waktu untuk melongo berdiam diri.
Mereka kudu melarikan diri di tengah berlangsungnya kerusakan hebat. Subuh penduduk Magelang langsung terasa berbeda. Suasana syahdu pagi hari berubah jadi mencekam. Orang-orang bergelimang darah. Debu-debu berterbangan imbas gedung runtuh di mana-mana.
Demikianlah penjelasan atas pemberitaan de Locomotief (20 Juni 1867) terhadap gempa besar nan baru diketahui berpusat di Yogyakarta dan terjadi pada 10 Juni 1867, tepat 158 tahun lalu.
Belakangan baru diketahui, apa nan dirasakan masyarakat Magelang juga dirasakan oleh masyarakat Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Madiun, hingga Banyuwangi. Kerusakan paling besar berada di Yogyakarta dan kota-kota sekitar, karena pusat gempa berada di ibukota kesultanan.
Werner Kraus dalam kitab Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya (2018) menyebut, gempa Yogyakarta 1867 membikin ribuan orang kehilangan nyawa dan ribuan rumah dan gedung hancur. Bencana tak kenal kelas-kelas sosial. Warga non-pribumi juga terdampak.
Banyak orang Belanda, Arab, dan China tewas. Begitu juga bangunan-bangunan milik mereka. Beberapa gedung ikonik Yogyakarta juga runtuh. Sebut saja Candi Sewu, Tugu Golong Gilig, dan Tugu Pal Putih. Benteng-benteng peninggalan VOC juga hancur dalam sekejap.
Semua lantas membikin seluruh penduduk merasa ketakutan. Mereka takut kembali berdiam diri di rumah. Sebab, tetap banyak gempa-gempa susulan. Sebagian dari mereka, seperti diberitakan Java Bode (27 Juni 1867), banyak melakukan zikir dan angan berbareng agar diberi keselamatan oleh Tuhan.
Pemerintah kolonial nan dikenal semena-mena juga memberikan support kepada para warga. Begitu juga Kesultanan Yogyakarta. Saat itu, belum ada skala penentuan besaran gempa.
Namun, BMKG mengungkap gempa tersebut berkekuatan M7,8. Penyebabnya adalah deformasi batuan dalam lempeng Indo-Australia nan berpusat di Samudera Hindia. Gempa ini kemudian jadi salah satu gempa terkuat nan pernah mengguncang Pulau Jawa.
Gempa luar biasa serupa kemudian terulang kembali 139 tahun kemudian. Pada 26 Mei 2006, gempa M6,3 mengguncangkan Yogyakarta dan membikin lebih dari 5 ribu orang tewas.
Pakar BMKG Jelaskan Pemicu Gempa
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono dalam unggahan di akun IG miliknya mengungkapkan penyebab terjadinya gempa nan mengguncang wilayah Jawa itu.
"Gempa besar Jawa terjadi pada 10 Juni 1867, hari Senin, pagi hari sekira pukul 04.20 waktu setempat. Gempa nan berpusat di Samudra Hindia selatan Pulau Jawa ini diperkirakan berkekuatan Mw7,8 nan dipicu deformasi batuan dalam Lempeng Indo-Australia (intra-slab earthquake)," tulisnya, dikutip Minggu (13/7/2025).
"Gempa ini menjadi salah satu gempa terkuat nan pernah mengguncang Pulau Jawa. Kerusakan meluas terjadi di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebanyak 700 hingga 1.000 orang tewas, termasuk 236 orang tewas di Surakarta," tambahnya.
Daryono pun menjawab pertanyaan di kolom komentar unggahan itu, nan menanyakan kenapa tidak ada pemberitaan peristiwa tsunami.
Daryono menjawab, perihal itu lantaran gempa nan terjadi termasuk gempa dalam.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]